Feminisme:
Dalam Kritik Sederhana
“Seorang perempuan lengkap dengan blazer dan rok mini sebatas lutut dengan tas berisikan laptop ditangan kirinya, terlihat uring-uringan diatas sebuah bus trans Jakarta. Ternyata penyebabnya, tidak lain karena perempuan tersebut tidak mendapatkan tempat duduk dan harus rela berdiri sepanjang perjalanan”
Pendahuluan
Ada yang menarik dari ilustrasi diatas, sosok perempuan dalam cerita diatas adalah ciri-ciri standar wanita karir, perempuan yang juga bekerja dan mempunyai penghasilan yang tidak jauh atapun sama, bahkan terkadang lebih besar dari kaum pria. Yang menarik adalah, kenapa perempuan tersebut harus kesal karena tidak mendapat tempat duduk? Bukankah sekarang jamannya feminisme?
Ilustrasi diatas adalah salah satu dari sekian banyak sketsa-sketsa kehidupan yang menggambarkan bagaimana sebenarnya implementasi feminisme yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kata-kata seperti “ladies first” atau “gue kan cewek” jelas menggambarkan betapa konsep feminisme ternyata tidak selalu konsisten, terlepas apakah perempuan yang pernah menggunakan kata-kata tersebut adalah seorang feminis atau bukan.
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada dasarnya akan selalu ada selama subordinasi dan opresi terhadap perempuan terus terjadi. Keinginan kuat untuk meruntuhkan budaya patriarki serta merekonstruksi kembali struktur sosial yang dalam pandangan kaum feminis dianggap timpang dan tidak adil agar membentuk kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan masyarakat, juga menjadi dasar mengapa feminisme sebagai suatu filsafat dan gerakan akan selalu hadir.
Seiring dengan perkembangan jaman, varian-varian baru dari ideologi feminisme mulai bermunculan. Namun, alih-alih membuat masyarakat khususnya perempuan sadar akan ketimpangan-ketimpangan yang selama ini terjadi, aliran-aliran baru ini malah membuat pemikiran-pemikiran yang sebenarnya tidak lagi mempunyai semangat feminisme yang murni. Bahkan, terkadang aliran feminisme yang ada sekarang terkesan ingin melepaskan perempuan dari kodrat dasar mereka sebagai perempuan itu sendiri.
Kajian-kajian mengenai feminisme dengan segala kritik dan inkonsistensinya dalam tulisan ini, memang tidak dilandasi oleh teori-teori dasar feminisme. Selain untuk membentuk sebuah pemikiran kritis yang murni, polos, sederhana dan mungkin terkesan dangkal, tulisan ini pun bisa mewakili bagaimana masyarakat yang awam terhadap feminisme, melihat, berpikir, dan bereaksi terhadap feminisme dan perkembangannya sekarang.
Feminisme dan absurditasnya
Bulan April mendatang adalah bulan dimana seorang perempuan Indonesia yang dianggap menjadi tokoh perjuangan dalam menyetarakan fungsi dan peranan perempuan, R.A. Kartini, lahir. Isu mengenai feminisme dengan kesetaraan gendernya pun semakin kencang berhembus. Tetapi dibalik gembar-gembor mengenai isu feminisme ini, ternyata banyak perempuan Indonesia yang secara sadar tidak terlibat penuh dalam perkembangan feminisme ini. Kokohnya fondasi budaya serta adat istiadat yang ada diberbagai suku di Indonesia menjadi penghambat utama bagi berkembangnya feminisme. Selain itu tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah baik untuk perempuan dan laki-laki juga menjadi salah satu masalah tersendiri untuk perkembangan feminisme.
Disinilah pemikiran kritis terhadap feminisme khususnya di Indonesia bisa kita sodorkan. Kenapa hanya segelintir perempuan saja yang tahu apa itu feminisme, kenapa tidak semua perempuan Indonesia mengerti dan berani menjalankan pemikiran-pemikiran feminisme. Situasi ini identik dengan yang terjadi pada perkembangan awal feminisme di Amerika Serikat. Feminisme yang terjadi di Amerika Serikat pada saat itu dikritik hanya sebagai kebangkitan anglo white american feminisme yang sama sekali tidak mampu mengakomodir kehadiran perempuan berkulit hitam dan perempuan dari native americans dalam pergerakan mereka. Kokohnya budaya patriarki, itulah jawaban yang mungkin akan sering kita dengar ketika pertanyaan diatas mulai mengemuka.Tetapi, disini letak absurditasnya, bukankah semangat feminisme khususnya di Indonesia adalah untuk menyadarkan perempuan bahwa patriarki adalah sebuah budaya yang sangat merugikan perempuan.
Mengenai budaya patriarki ini, Simone de Beauvoir, salah satu feminis egaliter mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan dari sifat alam perempuan. Status subordinat perempuan itu bukanlah akibat dari sifat biologisnya melainkan konstruksi kebudayaan dan karena itu dapat diubah. Jadi setiap jenis kelamin memiliki potensi biologis dan alami yang analog, yang dikembangkan dengan tidak seimbang karena peran sosial yang diberikan kepada kedua jenis kelamin juga tidak seimbang (Tong, 1998 : 303).
Pertanyaan yang paling sederhana dari pemikiran Beauvoir adalah “apakah laki-laki dan perempuan sama?”. Tentu tidak, ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki, dan inilah yang akhirnya akan berusaha dihilangkan oleh penganut feminisme.
Perkembangan aliran feminisme pun patut kita cermati. Seperti feminisme radikal, yang dalam kacamata orang awam seperti penulis sangat mengerikan. Mengutuk sistem patriarki, mencemooh pernikahan, menghalalkan aborsi serta lesbianisme dan revolusi seks. Bahkan bagi aliran ini hidup dengan laki-laki yang disebut suami adalah hidup dengan musuh. Patriarki, bagi sebagian feminis adalah sebuah manifestasi dari hirarki dan oleh karena itu patriarki harus dihancurkan. Apa yang salah dengan sistem patriaki, sehingga terus menerus dikutuk?, pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan sangat dianjurkan oleh berbagai agama apapun nama dan jenis Tuhan mereka, lalu kenapa harus dicemooh?, aborsi dari sudut manapun sama sekali tidak berprikemanusiaan, padahal feminisme menginginkan agar perempuan dapat menjadi manusia seutuhnya. Khusus untuk persoalan lesbi, saya tidak ingin memberikan komentar, karena itu hanya masalah pilihan yang merupakan hak setiap orang.
Fenomena wanita karir yang merebak akhir-akhir ini juga mendapat perhatian khusus, bukan masalah apakah posisi atau gaji mereka lebih bagus dari laki-laki, tapi yang menjadi masalah adalah eksesnya. Feminisme mengantarkan wanita karir menjadi orang yang hanya pulang kerumah untuk memberi makan binatang peliharaan mereka.
Paling tidak, sampai saat ini belum banyak kritikus sastra dan mahasiswa sastra yang menggunakan perspektif feminisme dalam melakukan kritik terhadap karya sastra. Demikian antara lain pemikiran yang muncul dalam diskusi dan peluncuran buku Kritik Sastra feminis karya Prof Dr Soenarjati Djajanegara yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Seni dan Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Depok, Senin (10/ 4)."Banyak yang bilang bahwa apa yang ada dalam karya sastra itu hanyalah khayalan belaka, padahal sebenarnya pemahaman tentang perempuan dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari karya sastranya.
Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki. "Padahal, belum tentu penulis perempuan akan menghasilkan karya sastra yang membela perempuan, begitu juga sebaliknya, tidak semua penulis laki-laki pasti tidak berpihak pada perempuan," katanya. Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama, kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis.
Logikanya, bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasil-kan uang. Masih menurut Maria, buku Soenarjati memberikan pegangan pada mahasiswa sastra atau orang-orang yang tertarik pada kritik sastra dalam melakukan kritik sastra dengan perspektif feminisme. "Meskipun sebenar-nya perlu dilengkapi dengan penjelasan apakah landasan dalam perspektif feminisme yang dimuat dalam buku itu bisa diterapkan di Indonesia atau tidak," katanya. Bagi Soenarjati, kritik sastra feminis itu tidak memisahkan sikap pengarangnya atau subs-tansi dari karya sastra. Menurutnya, baik substansi maupun pengarang merupakan satu kesatuan yang bisa dikritisi oleh para kritikus sastra feminis.
Penutup
Pertanyaan-pertanyaan diatas, sekali lagi sangat polos, sederhana, apa adanya, bahkan terkesan dangkal memang, tapi dibalut dengan pemikiran-pemikiran yang realistis. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain mengenai feminisme dan pengaruhnya terhadap perempuan Indonesia dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan menyudutkan feminisme, tapi sekali lagi inilah sebenarnya fakta yang ada dalam masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat akan apa feminisme itulah yang kemudian membentuk pertanyaan-pertanyaan skeptis mengenai feminisme.
Feminisme sendiri memang tidak bisa diartikan hanya dalam satu kata atau kalimat. Tapi yang positif dari feminisme adalah pemikiran untuk lebih memberdayakan perempuan, dimana perempuan juga bisa menjadi subjek dalam segala bidang, mengerjakan segala sesuatu dengan pengalamannya sebagai perempuan dan perspektif perempuan, tidak hanya selalu menggunakan sudut pandang laki-laki.
Mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, saya jadi teringat sebuah pepatah yang sering terpampang pada baju kaos dari Bali dan Jogjakarta, “bukan salah bunda mengandung, tapi salah ayah mengeluarkan burung”, terkesan porno, iya. Tapi intinya adalah tanpa perempuan tidak akan ada kehidupan, tapi tanpa laki-laki yang mengeluarkan burung dan –maaf- spermanya, tetap tidak akan ada kehidupan. Artinya antara perempuan dan laki-laki terdapat perbedaan yang besar. Perempuan mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri, sama halnya dengan laki-laki. Jadi seharusnya pemikiran yang timbul bukan penyetaraan antara perempuan dan laki-laki, tapi bagaimana sebuah proses dimana perempuan dan laki-laki bisa saling mengisi, tanpa adanya stigma bahwa perempuan lebih rendah dan lemah.
Pada akhirnya feminisme masih akan terus berkembang. Feminisme mempunyai masa lalu, sekarang, dan tentunya masa depan. Semoga feminisme akan terus menerus berkembang mencapai tahap dimana pertanyaan yang bahkan sering diajukan oleh para feminis sendiri, dapat ditemukan, “bagaimana feminisme yang baik?
Kepustakaan:
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jalasutra, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar